Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header

//

Breaking News:

latest

OPINI: Omnibus Law, Selamat Tinggal Desentralisasi Pendidikan

Penulis : Dr. H. Syafa’at Anugrah (Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare) OPINI --- Tidak ada asap jika tidak ada api. S...


Penulis : Dr. H. Syafa’at Anugrah (Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare)





OPINI--- Tidak ada asap jika tidak ada api. Seperti inilah gambaran perumpamaan kehadiran Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (red: UU Ciptaker) yang telah ditetapkan pada Senin, 5 Oktober 2020 oleh para wakil kita yang terhormat bersama dengan pelayan masyarakat yang dikenal dengan nama pemerintah. Beberapa saat setelahnya, reaksi dan kecaman datang dari berbagai pihak mulai dari aktivis mahasiswa, buruh hingga para akademisi yang memberikan penolakan keras terhadap adanya UU Ciptaker ini.





Namun, ada juga diantara masyarakat akademik yang santai menanggapi kehadiran aturan ini dengan mengatakan bahwa “pro kontra dalam pembentukan hukum adalah hal biasa”. Disinilah awal mula kegagalpahaman saya dalam berpikir.





UU Ciptaker yang kita kenal dengan istilah Omnibus Law merupakan gabungan berbagai macam peraturan yang menyatu dalam sebuah Bus Omni yang disebut Undang-Undang Cipta Kerja. RUU yang memiliki 1028 halaman ini tentu tidak mampu dicerna dalam sekali baca. Olehnya, penulis sebagai akademisi di bidang hukum pemerintahan daerah yang pernah mengangkat disertasi mengenai desentralisasi pendidikan merasa perlu menjelaskan kegelisahan-kegelisahan yang menyelimuti penulis dalam membaca UU Ciptaker ini terkhusus di bidang pendidikan.





Pertama, beban berat diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat yang harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Sementara kita ketahui bahwa Badan Hukum Pendidikan itu memiliki prinsip Nirlaba atau keuntungan yang jelas bertentangan dengan cita-cita UUD 1945 yang menginginkan masyarakat Indonesia ini berorientasi kepada kesejahteraan umum melalui fase mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan menguntungkan kehidupan sebagian orang. (Baca Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan Omnibus Law)





Kedua, tidak adanya lagi kewenangan dari pemerintah daerah dalam memberikan izin pendirian penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan non formal yang didirikan oleh masyarakat tetapi semuanya beralih ke pemerintah pusat. Ironisnya, perizinan ini berubah nama yang semula adalah “izin pendirian” menjadi “perizinan berusaha” oleh pemerintah pusat. (Baca Pasal 62 ayat (1) UU Sisdiknas dan Omnibus Law)





Ketiga, Lembaga pendidikan asing yang tidak terakreditasi atau tidak diakui oleh negaranya dapat melakukan kegiatan pendidikan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadikan pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, dan Kewarganegaraan hanya sebagai pendidikan “muatan” dalam penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Asing. (Baca Pasal 65 ayat (1) dan (2) UU Sisdiknas dan Omnibus Law).





Keempat, Lembaga Pendidikan... (next page 2)









[page 2]





Keempat, Lembaga Pendidikan Asing tidak berkewajiban dalam melibatkan tenaga kependidikan dan pengelola yang merupakan Warga Negara Indonesia. (Baca Pasal 65 ayat (3) UU Sisdiknas dan Omnibus Law).





Kelima, para penjahat-penjahat pendidikan yang melakukan kegiatan pemalsuan ijazah, pengoperasian Perguruan Tinggi yang telah ditutup mendapatkan angin segar setelah penghapusan ketentuan pidana Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 UU Sisdiknas. Namun, Pasal pidana bagi penyelenggara pendidikan yang tidak memiliki “izin berusaha” masih tetap eksis dalam Omnibus Law ini. (Baca Pasal 71 UU Sisdiknas dan Omnibus Law).





Keenam, penyelenggaraan pendidikan tinggi, frasa “kebudayaan bangsa Indonesia” dihilangkan. (Baca Pasal 1 angka 2 UU Dikti dan Omnibus Law).





Ketujuh, penghapusan standar pendidikan tinggi, termasuk pengembangan standar nasional pendidikan tinggi yang memperhatikan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. (Baca Pasal 54 UU Dikti dan Omnibus Law).





Kedelapan, jalan mulus bagi Perguruan tinggi “Nirlaba” yang berasal dari negara lain dengan meniadakan persyaratan akreditasi atau diakui oleh negaranya untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan tinggi di NKRI asal memiliki “izin berusaha” dari pemerintah pusat. (Baca Pasal 90 ayat (2) UU Dikti dan Omnibus Law).





Kesembilan, mengenai status guru dan dosen yang professional tidak lagi harus dibuktikan dengan sertifikat pendidik terutama bagi guru atau dosen yang merupakan lulusan Perguruan Tinggi Luar Negeri. Yang paling ironis adalah penghapusan pasal yang menyangkut kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional. (Baca UU Guru dan Dosen, & Omnibus Law).





Dengan berlakunya UU Ciptaker ini, maka selesai sudah pembicaraan mengenai harapan dan impian bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, berkarakter dan berbudaya. Sehingga, satu pesan yang penulis ingin sampaikan bahwasanya demokrasi lima tahunan jangan dijadikan momentum perolehan rezeki, karena rezeki itu datangnya dari Allah SWT bukan dari setan-setan politik.*


Tidak ada komentar