Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Header

//

Breaking News:

latest

Zul Fachri Husain Peraih IPK 4.00; Ilmu Itu Berguna untuk Orang Lain

Inspirasi Akademia ---- Pria berusia dua puluh tiga tahun datang dari arah utara dengan langkah tergesa. Ia terlihat kelimpungan mencari ses...


Inspirasi Akademia---- Pria berusia dua puluh tiga tahun datang dari arah utara dengan langkah tergesa. Ia terlihat kelimpungan mencari seseorang di basement gedung perkuliahan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. Pria dengan kaos berkerah berwarna abu-abu tersebut kemudian merogoh saku celana coklat mudanya dan mengeluarkan gawainya untuk menghubungi seseorang. Ternyata ia telah membuat janji dengan dua orang mahasiswi untuk melakukan wawancara. Setelah bertemu, pria dengan ransel hitam di pundaknya berjalan menuju bangku yang ada di lantai dasar gedung dengan dua orang yang telah menunggunya.





Zul Fachri Husain, ialah sosok yang berhasil meraih Indeks Prestasi Komulatif sempurna dengan nilai 4.00 dalam kurun waktu 4 tahun. Ia telah mengalahkan pesaingnya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam. Prestasi yang dicapai tersebut tidaklah mudah, ia harus bersaing dengan ratusan mahasiswa dalam mempertahankan apa yang telah diraih.





Pemuda kelahiran Parepare, 31 Juli 1997 kini tinggal bersama Ibu dan kakaknya di Wekke’e Perumnas setelah ditinggalkan sosok Ayah. Ayahnya bernama Husain Hafid meninggal saat ia masih menduduki bangku kelas 4 sekolah dasar. Hal itu menjadi masa berat dalam hidupnya, tapi ia tidak pernah menyesali suratan itu. Ibunya bernama Dana kini berusia 65 tahun, beliau lah yang menjadi motivasinya dalam menjalankan pendidikan. Sehingga, biaya pendidikannya menjadi tanggungan ibu dan kakaknya.





“Sedih, apalagi sosok ayah sangat berperan penting, dia kan tulang punggung keluarga, tapi ada ji semua hikmahnya karena dari situ ka dibentuk bilang haruska bisa bantu ki orang tuaku. Memang kan ndak ada ji kerjanya kakakku yang nomor dua, kan yang pertama perempuan, kedua laki-laki. Nah, kakakku berhenti di semester 6. Jadi di situ maki harus lebih hormati bagaimana perjuangannya saudarata untuk kasi kuliah ki. Intinya to tidak perlu sesalkan sesuatu yang bermanfaat seperti belajar. Banyak mahasiswa cuma mengejar formalitasnya bilang harus ka jadi anak kuliah supaya bisa begini. Intinya itu to belajar ki bukan untuk bekerja, belajar ki bagaimana carata untuk mendapatkan ilmu dan ilmu itu bisa berguna untuk dirita dan orang di sekitarta. Kalau misalnya untuk cari uang ji to bisa ndak lulus SD ki bisa jaki cari uang,” ujarnya.





Masa kecil seorang Fachri sama halnya dengan masa kecil anak-anak pada umumnya. Ia memang sosok yang sangat menyukai namanya belajar. Tak heran jika ia terus mendapat prestasi akademik yang memuaskan sejak masih SD hingga di bangku perkuliahan. Hal itu ia dapatkan dari orangtuanya yang senantiasa membentuk pondasi agama sebagai dasar. Ia bahkan lebih dulu bisa mengaji daripada membaca. Namun, ia pernah mengalami penurunan prestasi yaitu peringkat ke delapan saat masih SD, tapi ia berhasil memperbaikinya saat kelas 4 dan mempertahankan hingga kuliah.
Bungsu dari empat bersaudara ini sudah mulai membentuk pola pikirnya ketika masih SD, hal itu terbilang dini untuk anak seusianya dalam ranah pembentukan pola pikir.





Porsi belajarnya pun tidak terlalu dipkasakan, ia hanya belajar secukupnya.“Nah, dari sana memang to’ ada memang mi bekalku, ada memang mi pondasiku untuk bentuk ki pola pikirku. Nah, dari SMP juga tidak lepas ki dari itu 3 besar. Sama SMA, sampai sekarang juga Alhamdulillah dapat IPK 4.00, begitu ji. Intinya itu to’ belajar secukupnya, seikhlasnya. Kalau memang ndak sanggup maki belajar jangan mi dipaksakan karena otak itu perlu ada porsinya masing-masing. Ada porsi istirahat, ada porsi berpikir, itu ji,” jelasnya. Sesekali ia memperbaiki letak ransel di pundaknya saat berbicara.





Pria yang menyelesaikan sekolahnya di SMKN 2 Parepare jurusan otomotif. Sebelum memutuskan untuk melanjutkan ke IAIN Parepare, ia lulus SNMPTN di Unhas, karena kehendak orang tua akhirnya ia mengalah dan memilih Program Studi Perbankan Syariah saat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di IAIN Parepare.





Ia memilih jurusan tersebut karena... (next page 2)









[Page 2]





Ia memilih jurusan tersebut karena merasa tertantang dengan jumlah peminat jurusan tersebut yang tidak sedikit. Dari sanalah ia menguji kemampuan akdemiknya selama di bangku sekolah, dan ia berhasil menaklukkan tantangan itu.





Mahasiswa yang juga aktivis ini mengikuti organisasi internal kampus, yaitu sebagai pengurus HMJ Syariah dan Ekonomi Islam pada tahun 2016, dan juga aktif sebagai pengurus DEMA Institut pada tahun 2018. Selain internal, ia juga mengikuti kegiatan eksternal yaitu bergabung di organisasi Komunikasi STADIUM (STAIN Debat Forum).





Ia mengaku hampir tidak mendapatkan IPK sempurna. “Sebenarnya to, IPK 4.00 hampir ndak dapat, berapa kali ka hampir dapat B. kalau saya pribadi kalau dapat B ka berpasrah maka, bilang ka ini mi kesanggupanku. Ndak pernah ka juga menghadap sama dosen untuk kuubah nilaiku to, tapi dua kali kalau ndak salah semester 4 sama semester 6 pernah dapat B, tapi untungnya di semesterku yang keempat dosennya kasi kebijakan sendiri tanpa sa minta to bilang untuk semuanya ji juga, kalau mau perbaikan kerjakan ini dan itu, kebetulan juga ikut ka berubah nilaiku dari B ke A. Terus yang di semester 6 agak susah dosennya memang, jadi nilaiku dicanang-canangkan memang mi B. Sesudah ujian to dikasih lihatkan maki nilai ta B ka di situ. Tidak ada ji niatku juga mau ubah ki, tapi hampir ji mendekati A, 79.50 an, tapi pas keluar di sisfo dapat A,” tuturnya.





Setelah mengetahui bahwa ia menyabet gelar sebagai mahasiswa cumlaude. Ia kemudian memberitahukan kepada sang Ibu, tapi respon ibunya tidak tertebak. Ia mengaku bahwa Ibunya bukan tipe orang tua yang menuntut anaknya harus bisa ini dan itu, dan juga tidak menargetkan anaknya harus mendapatkan nilai yang tinggi. Ibunya cukup bangga dengan prestasi yang diraihnya saat ini.





Menjadi seorang aktivis tidaklah menjadi penghalang bagi mahasiswa jurusan Perbankan Syariah ini dalam mengembangkan potensi akademik yang dimiliki. Manajemen waktu antara prioritas dan non prioritas haruslah sesuai dengan kebutuhan. Hal tersebut tergantung dari pribadi masing-masing, bagaimana ia melobby dosen saat ingin ikut organisasi. Namun, pria kelahiran Parepare ini tidak pernah mengalami hal di mana dosen tidak mengizinkannya untuk ikut kegiatan organisasi. Tidak memandang sebelah mata dan remeh orang lainlah yang menjadi pegangannya dalam meniti pendidikan. Dia menghargai segala apa yang menjadi pilihan orang lain, baik yang memilih berkecimpung di dunia organisasi untuk membentuk dirinya, maupun yang memilih membentuk dirinya di dunia akademik.





Kegiatan organisasi yang diikuti oleh pria asal kota santri ini tidaklah menjadi penghalang dalam aktivitas akademiknya, justru menjadi pendorong. Hal itu dikarenakan ia bisa berbagi kepada para senior yang sudah berpengalaman mengenai kegiatan akademik. Mulai dari sharing tugas, ujian, karakter dosen yang seperti apa, hingga skripsi. Selain itu, di organisasi Fachri tidak hanya membentuk hard skill, tapi juga membentuk soft skillnya. Percuma memiliki nilai akademik yang tinggi jika tidak hal itu tidak bisa diutarakan kepada teman-teman.





Dalam mengembangkan nilai akademiknya, ia tidak memiliki strategi khusus dalam belajar. Ia tidak pernah memaksakan diri untuk terus belajar. Jika musim ujian tiba, ia akan bangun pukul 03.00 untuk belajar. Di samping karena otak masih fresh setelah istirahat, juga tidak ada gangguan saat akan mengulangi materi yang telah diperoleh sebelumnya. Meskipun tidak memiliki strategi belajar yang khusus, tapi ia cukup mudah bergaul dengan dosen sehingga dikenal oleh para dosen, dan ia senantiasa menjaga silaturahmi dengan dosen.





Zul Fahcri saat ini masih sibuk dengan urusan kampus, dia harus mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan sidangnya, tapi ia tetap menyempatkan waktunya untuk membaca ayat demi ayat dalam alquran, meski tidak seintens dulu. Ia akan mencari pekerjaan setelah bulan ramadhan. Meskipun banyak argumen yang beredar bahwa lulusan sarjana lebih banyak yang pengangguran. Namun, hal itu ia patahkan dengan membuat pernyataan bahwa mereka yang lulusan sarjana dan pengngguran merupakan seorang sarjana malas dan dia tidak berhasil membentuk soft skillnya saat masih manyandang status mahasiswa. Padahal lowongan pekerjaan sangat banyak, hanya karena gengsi mereka tidak ingin pekerjaan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Lowongan kerja menurutnya, tidak melihat seberapa tinggi nilai yang didapatkan dan pendidikan hanya formalitas semata, tapi bagaimana soft skill itu dikembangkan, serta yang terpenting adalah keberkahan dari ilmu yang didapatkan.





Laki-laki penyuka olahraga ini, menyesali satu hal yang paling mendasar yaitu terlambat membaca buku, dalam artian berbagai literatur. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk hal lain daripada membaca buku. Dari membaca ia bisa tahu banyak hal. Bahkan dengan membaca lebih banyak referensi ia merasa sangat kerdil soal ilmu, karena semakin membaca semakin ia menyadari bahwa ternyata masih banyak yang belum ia ketahui daripada yang telah ia ketahui.





Di balik kesuksesan seorang Zul Fahcri Husain, tidak lepas dari dukungan dan dorongan dari orang terdekatnya. Orang tua adalah sosok yang unggul dalam hidupnya karena beliau yang telah memberikan banyak hal, mulai dari dukungan moral, pondasi sebagai dasar hidup, bimbingan akhlak, serta materi. Selain itu, dosen dan teman-teman juga termasuk ke dalam jajaran di balik kesuksesannya meraih IPK sempurna di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Parepare.





Harapan demi harapan ia telah usung dalam hidupnya dan untuk masa depannya. Ia ingin menjadi pribadi yang bisa berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Ia juga berpesan kepada seluruh adik tingkatnya untuk tetap mencari jati diri sesuai dengan passion mereka. Dan pesan yang paling menggelitik dan menohok ia peruntukkan kepada teman mahasiswanya, bahwa benar 70 persen ilmu diperoleh dari luar kelas, dan 30 persen diperolah di dalam kelas. Namun, jangan sekali kali bersikap pongah ingin memperoleh 70 persen tersebut jika yang 30 persen saja belum busa ditunaikan dan dijalankan sebagaimana mestinya.





Penulis: Sunarti, Mahasiswi Program Studi Jurnalistik Islam (JI) IAIN Parepare





Editor: Mifda Hilmiyah


Tidak ada komentar